Biaya Surcharge pada Transaksi Kartu Kredit Pemerintah

Biaya Surcharge pada Transaksi Kartu Kredit Pemerintah
Nurfadhilah. (Foto: dok. Pribadi)

Oleh: Nurfadhillah

ONEANEWS.com – Dalam rangka penyempurnaan mekanisme pembayaran belanja pemerintah melalui APBN, Ditjen Perbendaharaan telah menyusun program modernisasi dalam sistem pembayaran APBN secara non tunai, diantaranya dengan penerapan penggunaan kartu kredit.

Apa itu Kartu Kredit Pemerintah (KKP)?

Alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas belanja yang dapat dibebankan pada APBN, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh pihak Bank Penerbit KKP.

Implementasi KKP mengalami perjalanan yang panjang sejak inisiasi pertama kali pada tahun 2019, Ditjen Perbendaharaan c.q. Direktorat Pelaksanaan Anggaran senantiasa melakukan monitoring dan evaluasi tiap tahun. Tercatat pada tahun 2024, nilai transaksi KKP mencapai Rp1,52 Triliun, tumbuh sekitar 31,67% dibandingkan tahun 2023 pada periode yang sama. Nilai transaksi KKP terus bertambah tiap tahunnya, namun karena dinamika kebijakan pemerintah yang kompleks pada tahun 2025, maka diperlukan strategi untuk mengoptimalkan penggunaan KKP.

Tujuan implementasi KKP:

Meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara

Meningkatkan keamanan dalam bertransaksi

Mengurangi potensi fraud dari transaksi secara tunai

Mengurangi cost of fund/idle cash dari penggunaan KKP

Meskipun transaksi meningkat sampai dengan tahun 2024, namun masih terdapat beberapa kendala terkait implementasi KKP ini, salah satunya pengenaan surcharge. Hal ini telah diatur pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) sebagaimana telah diubah dalam PBI Nomor 14/2/PBI/2021, namun masih ada merchant yang mengenakan biaya tambahan kepada pelanggan, termasuk transaksi yang menggunakan KKP. “Masih banyak ditemukan di lapangan merchant yang mengenakan surcharge, pengenaan surcharge jelas dilarang sebagaimana peraturan BI. Surcharge tidak dapat dibebankan pada APBN, sehingga sebelum satker melakukan transaksi, satker agar memastikan merchant tidak mengenakan surcharge. Satker dapat memilih merchant lain yang tidak mengenakan surcharge, atau saat ini sudah tersedia banyak kanal pelaporan baik ke BI maupun ke Bank Penerbit KKP”, kata Kasi PA III-A, Subdit. PA III, Dit. Pelaksanaan Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bapak Iman Agus Gumelar dalam kegiatan Klinik PA Juli 2025.

Terdapat pula merchant yang tidak menerima transaksi yang menggunakan kartu dari bank penerbit yang berbeda dengan penerbit mesin EDC, dengan alasan biaya MDR yang harus dibayarkan lebih besar. Pada kasus lain bahkan merchant sama sekali tidak menerima transaksi dengan KKP. Isu-isu ini yang dilaporkan oleh satker K/L. Dit. PA senantiasa berkoordinasi dengan semua pihak agar kendala-kendala yang terjadi dapat diminimalisir agar tidak mengganggu implementasi KKP.

“Sebagai pengguna KKP, satker diharapkan tetap berupaya mengoptimalkan penggunaan KKP untuk kebutuhan belanja yang bisa menggunakan KKP, jadi mindset diubah, KKP dulu baru tunai”, tambah Iman. (*)

Bagikan artikel ini ke :