Sosok Jenderal Besar TNI Soedirman, Pahlawan yang Berjuang dengan Satu Paru-paru
ONEANEWS.com – Jenderal Besar TNI Raden Soedirman merupakan salah satu pahlawan nasional yang memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ia rela berjuang demi negara bahkan ketika dirinya dalam keadaan sakit di mana salah satu paru-parunya tidak berfungsi. Bagaimana kisah lengkapnya?
Sebelum masuk ke kisah perjuangannya, terlebih dahulu kita perlu mengenal Jenderal Soedirman lebih dalam.
Jenderal Soedirman adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem.
Kehidupan pendidikan Soedirman sangatlah sederhana seperti penduduk pribumi lain pada zaman penjajahan. Proses pendidikannya lebih banyak ditempuh di surau dengan cara mengaji atau belajar ilmu agama.
Soedirman mengenyam pendidikan dasar melalui didikan ayah angkatnya, yaitu Raden Tjokrosunaryo, yang pada saat itu oleh Pemerintah Hindia Belanda diberikan mandat sebagai asisten wedana.
Soedirman mulai mengenal dunia militer saat ia ditunjuk sebagai salah satu kader dalam pelatihan Pembela Tanah Air (PETA) (Giguyun) yang merupakan organisasi semi-militer bentukan Jepang.
PETA didirikan pada Oktober 1943 dan perekrutan anggota bersifat sukarela dari kalangan masyarakat pribumi. Saat tergabung dalam organisasi tersebut, Soedirman banyak mendapatkan pengetahuan mengenai kemiliteran.
Setelah PETA dibubarkan pada 18 Agustus 1945, Soedirman mendirikan BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Pada saat di TKR, Soedirman yang berpangkat kolonel ditunjuk sebagai pemimpin dalam pertempuran Ambarawa. Pertempuran tersebut berakhir dengan kemenangan TKR atas Tentara Inggris pada 15 Desember 1945.
Oleh karena kemenangannya, Soedirman diangkat oleh Pemerintah Indonesia sebagai panglima TKR dan pangkatnya yang semula kolonel naik menjadi jenderal.
Pada suatu hari di bulan Desember 1948, pasukan Belanda kembali melakukan agresi militer yang lebih dikenal dengan sebutan Agresi Militer II Belanda. Saat itu, Yogyakarta yang menjadi ibu kota Negara Republik Indonesia berhasil dikuasai oleh Belanda.
Jenderal Soedirman yang memiliki semangat patriotik yang tinggi tentunya tidak bisa menerima hal tersebut.
Ia memutuskan untuk melakukan perlawanan secara gerilya, meskipun pada saat itu kondisi fisiknya lemah karena terserang penyakit tuberkulosis yang membuat paru-parunya hanya berfungsi sebelah.
Dalam menjalankan perang tersebut, Soedirman harus ditandu untuk memimpin pasukan karena kondisinya sedang sakit.
Jenderal Soedirman terus berjuang dari atas tandu memimpin perang gerilya selama tujuh bulan. Namun, karena kondisi kesehatannya semakin turun hingga sampai pada titik tidak memungkinkan lagi untuk bertempur, ia terpaksa meninggalkan medan pertempuran. Walaupun begitu pemikirannya selalu dibutuhkan.
Jenderal Soedirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950 di usia yang relatif muda, yaitu 34 tahun. Ia wafat di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Setelah TNI berdiri, para pejabat yang menjadi pimpinan kolektif memilih dan melantik secara resmi Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pada tanggal 28 Juni 1947 di Istana Presiden Yogyakarta.
Seperti itulah kisah perjuangan Jenderal Soedirman. Semangatnya patut kita teladani dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar kita menjadi pribadi yang kuat dan tidak mudah putus asa. (*)
Sumber: Kemendikbud