Assegaf Hamzah & Partners Beri Tips Menulis Legal Writing Bagi Praktisi Hukum
ONEANEWS.com – Praktisi hukum dituntut memiliki kemampuan lebih dari sekedar pemahaman terhadap pengetahuan dan isu hukum terkini, tapi juga praktik.
Salah satu keterampilan yang perlu dimiliki praktisi hukum adalah komunikasi. Berkomunikasi untuk menyampaikan substansi hukum bukan hal mudah, tapi juga tak sulit.
Tulisan hukum yang baik itu mudah dimengerti, pesannya sampai secara jelas dan singkat sekalipun pembacanya tak punya latar belakang hukum.
Hal itu disampaikan oleh Firma Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP) saat diskusi daring bertajuk Tips Legal Writing Bagi Praktisi hukum dalam diskusi Serunya Kuliah Singkat Hukumonline #18 di kanal IG hukumonline, Jumat (29/9/2023).
Knowledge Management Manager dan Editor Firma Hukum AHP, Olivia Kuntjoro Jakti mengatakan komunikasi bisa dilakukan secara lisan dan tulisan.
Dalam bentuk tulisan biasa dikenal dengan istilah Legal Writing. Perempuan yang disapa Pia itu mengatakan pekerjaan terbesar yang dilakukan praktisi hukum seperti pengacara dan penasihat hukum yakni komunikasi. Baik itu komunikasi dengan rekan kerja, klien, pengacara lain, pengadilan, institusi pemerintah, dan pihak lainnya.
“Profesi hukum harus cakap berbicara dan menulis,” katanya.
Keterampilan menulis di dunia hukum menurut Pia banyak mengalami perubahan. Misalnya, dahulu penulisan cenderung menggunakan bahasa yang rumit.
Muncul pandangan dokumen hukum itu rumit dan bahasanya sulit dipahami maksudnya. Tapi sekarang mulai berubah, di mana firma hukum dan instansi pemerintah cenderung mengarah pada penulisan hukum dalam bahasa yang sederhana, sehingga mudah dimengerti.
Melalui tulisan, bisa dilihat seperti apa keandalan praktisi hukum yang bersangkutan. Pia menyebut praktisi hukum yang andal adalah mampu menerjemahkan perihal hukum seperti aturan dan persyaratan, sehingga klien bisa paham apa yang dibutuhkan, misalnya untuk mendapatkan izin.
Mengingat selama ini banyak peraturan yang menggunakan bahasa rumit, kalimat panjang, dan membingungkan sehingga pembacanya bingung sekalipun berlatar belakang hukum.
“Praktisi hukum yang andal itu yang bisa menerjemahkan itu (peraturan hukum,-red) sehingga mudah dimengerti klien,” ungkapnya.
Pia memberikan contoh penggunaan frasa ‘shall’ dalam bahasa Inggris. Frasa tersebut lebih baik dihindari karena maknanya ambigu bisa berarti harus, akan, dan dapat.
Lebih baik diganti dengan frasa yang tegas dan tidak ambigu misalnya ‘must’, ‘will’, atau ‘may’. Oleh karena itu salah satu tantangan yang dihadapi adalah meninggalkan kebiasaan lama.
Kebanyakan penulisan yang dilakukan kantor hukum mengacu pada preseden, misalnya mengacu nasihat hukum yang pernah dikeluarkan sebelumnya.
Maka, diperlukan keberanian untuk memulai kebiasaan yang baru dan meninggalkan yang lama. Menurut Pia, secara umum kerangka untuk menulis hukum atau legal writing meliputi beberapa hal.
Mulai dari introduksi, yang menjelaskan tulisan itu akan membahas soal apa. Dilanjutkan pertanyaan dari klien jika ada, kemudian latar belakang persoalan seperti fakta yang disampaikan klien, due diligence, dan lainnya.
Berikutnya ringkasan eksekutif (executive summary) yang memberikan pembacanya cuplikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan klien. Misalnya klien bertanya apakah perusahaannya bisa melakukan Initial Public Offering (IPO) atau tidak di Indonesia.
Maka dijawab bisa atau tidak disertai dengan alasannya. Lalu analisa yang mengacu peraturan, dan terakhir konklusi.
Sebelum menulis, Pia memberikan tips agar dibuat dulu perencanaan (planning).
Perencanaan itu akan membantu pada saat penulisan. Untuk mengingat poin apa saja yang perlu ditulis, dan hal khusus apa saja yang perlu masuk dalam tulisan itu.
Tanpa perencanaan, besar kemungkinan ada substansi yang luput untuk ditulis.
“Mengerjakan legal writing itu mirip membangun rumah, harus ada perencanannya dulu, tidak langsung susun semen dan bata,” pungkasnya. (*)