PGRI dan Demokrasi yang Hilang di Ruang Musyawarah

PGRI dan Demokrasi yang Hilang di Ruang Musyawarah
Dr. Zaid Zainal (Ketua LSM Lapekom). (Foto: dok. Pribadi)

Oleh: Dr. Zaid Zainal (Ketua LSM Lapekom) 

ONEANEWS.com – Musyawarah daerah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) semestinya menjadi ruang demokrasi bagi para guru untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpinnya secara terbuka. Namun, dalam kenyataannya, musyawarah yang ideal itu kerap kehilangan maknanya.

Dalam beberapa tahun terakhir, kursi ketua PGRI di tingkat daerah hampir selalu diduduki oleh mereka yang sedang memegang jabatan struktural di pemerintahan—entah sebagai kepala dinas, kepala bidang, atau pejabat lainnya.

Akibatnya, proses pemilihan lebih tampak sebagai formalitas birokrasi ketimbang cerminan kehendak para guru di akar rumput.

Padahal, sejak awal berdirinya, PGRI dibangun sebagai organisasi profesi yang mandiri, menjadi rumah besar bagi guru untuk memperjuangkan hak, martabat, dan profesionalismenya.

PGRI bukan perpanjangan tangan birokrasi pendidikan. Ia lahir dari semangat perjuangan, dari kesadaran bahwa pendidikan hanya akan kuat jika guru memiliki suara yang merdeka.

Karena itu, setiap guru—baik di ranting, cabang, maupun komisariat—mempunyai hak yang sama dalam menentukan arah organisasi. Prinsip kesetaraan inilah yang seharusnya menjadi roh utama dalam setiap musyawarah.

Namun, realitas yang terjadi sering kali berlawanan. Budaya paternalistik dan hierarki jabatan masih sangat kuat mewarnai dinamika organisasi guru. Ketika seorang pejabat memasuki ruang musyawarah, banyak peserta otomatis merasa sungkan untuk berbeda pendapat.

“Rasa segan” itu kemudian menjelma menjadi konsensus semu yang menempatkan jabatan struktural seolah-olah identik dengan kepemimpinan PGRI. Tidak sedikit guru yang berpikir bahwa kursi ketua memang pantas diberikan kepada pejabat, bukan kepada guru biasa. Pandangan ini, tanpa disadari, justru mengebiri hak demokratis para anggota.

Pemilihan pun sering kali hanya menjadi upacara legitimasi atas keputusan yang sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelumnya. Panitia dan peserta musyawarah seolah menjalankan naskah yang sudah disiapkan.

Akibatnya, makna musyawarah sebagai wadah pertukaran gagasan dan aspirasi menjadi hampa. Yang tersisa hanyalah seremonial dengan wajah demokrasi, tapi tanpa ruh partisipasi.
Kondisi ini membawa dampak serius terhadap marwah organisasi. Ketika PGRI lebih banyak diisi oleh pejabat struktural, organisasi kehilangan daya kritisnya.

Padahal, salah satu fungsi utama PGRI adalah menjadi mitra kritis pemerintah dalam memperjuangkan kebijakan pendidikan yang berpihak pada guru dan murid. Jika kepengurusan terlalu dekat dengan kekuasaan, suara kritis itu mudah teredam. Guru pun kehilangan tempat untuk menyampaikan aspirasi secara jujur dan terbuka.

Lebih jauh, pola seperti ini menutup peluang kaderisasi. Banyak guru potensial yang sebenarnya memiliki semangat dan kompetensi organisasi, tetapi enggan terlibat karena merasa ruangnya sudah tertutup. Organisasi akhirnya menjadi eksklusif dan kehilangan dinamika regenerasi.

Dalam jangka panjang, PGRI bisa terjebak dalam stagnasi kepemimpinan yang hanya berganti nama, tetapi tidak berganti cara pandang.

Padahal, semangat demokrasi dalam organisasi profesi bukan sekadar soal siapa yang memimpin, melainkan tentang bagaimana suara anggota benar-benar dihargai. PGRI seharusnya menjadi teladan praktik demokrasi yang sehat di lingkungan pendidikan.

Jika organisasi guru sendiri tidak bisa menegakkan nilai-nilai partisipatif, sulit berharap semangat itu akan tumbuh dalam praktik pendidikan di sekolah-sekolah.
Oleh karena itu, momentum musyawarah cabang PGRI Parepare periode 2025–2030 seharusnya dijadikan titik balik.

Sudah saatnya para guru bangkit dan menegaskan kembali haknya sebagai pemilik organisasi. Pemilihan pengurus harus dilakukan dengan keterbukaan, tanpa dominasi jabatan struktural. Mekanisme musyawarah perlu dirancang agar benar-benar memberi ruang bagi setiap ranting dan cabang untuk menyampaikan suara secara bebas.

Transparansi dan partisipasi harus dijadikan prinsip utama, bukan sekadar slogan. Kaderisasi pun harus menjadi agenda penting. Guru-guru muda yang berintegritas, berkomitmen, dan memahami perjuangan profesi perlu diberi ruang untuk tampil.

Kepemimpinan dalam PGRI tidak boleh dilihat dari jabatan, melainkan dari dedikasi dan konsistensi memperjuangkan kepentingan guru. Organisasi yang kuat justru lahir dari keberagaman pemikiran, bukan dari keseragaman perintah.

Sudah saatnya kita kembali menghidupkan semangat musyawarah sejati—musyawarah yang lahir dari niat tulus untuk membangun, bukan sekadar memilih. PGRI akan menjadi kuat jika kepemimpinannya lahir dari suara hati para guru, bukan dari hirarki kekuasaan.

Karena pada akhirnya, yang membuat organisasi besar bukanlah nama pejabat yang memimpinnya, melainkan sejauh mana ia mampu mendengarkan dan memperjuangkan suara mereka yang berada di ruang-ruang kelas.

Guru adalah garda depan perubahan pendidikan. Mereka layak memiliki organisasi yang benar-benar mewakili suara mereka. Mari kembalikan demokrasi yang hilang itu ke ruang musyawarah PGRI—agar organisasi ini kembali menjadi milik guru, bukan birokrasi. (*)

Bagikan artikel ini ke :