Pengaruh Agama terhadap Budaya Administrasi di Indonesia 

Pengaruh Agama terhadap Budaya Administrasi di Indonesia 
M Akbar Tyandi DP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Magister Administrasi Publik). (Foto: dok. Pribadi)

ONEANEWS.com – Agama dan administrasi publik adalah dua entitas yang sering dipandang terpisah. Namun, dalam konteks Indonesia, keduanya memiliki hubungan yang erat dan saling memengaruhi. Agama bukan hanya menjadi ekspresi spiritual masyarakat, tetapi juga membentuk cara berpikir, bertindak, dan mengelola urusan publik.

Budaya administrasi, sebagai cerminan nilai dan kebiasaan yang hidup dalam birokrasi, kerap kali tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh masyarakat dan para pelaku birokrasi itu sendiri.

1. Agama sebagai Pondasi Etika Administrasi

Etika adalah fondasi dari setiap sistem administrasi yang sehat. Dalam konteks Indonesia, di mana mayoritas penduduknya menganut agama tertentu dan menjalani kehidupan berlandaskan ajaran agama, nilai-nilai etika tersebut sangat dipengaruhi oleh ajaran keagamaan.

Dalam Islam, konsep seperti amanah, ihsan, ikhlas, dan taqwa menjadi dasar bagi seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, termasuk dalam bidang administrasi publik.

Etika kerja ini menciptakan kesadaran bahwa setiap bentuk pelayanan publik adalah amanah yang harus dijalankan secara profesional dan penuh tanggung jawab, bukan sekadar rutinitas birokrasi.

Begitu pula dalam agama Kristen, nilai servant leadership (kepemimpinan sebagai pelayanan) telah lama menjadi prinsip yang mendorong pemimpin untuk melayani rakyat, bukan dilayani.

Dalam Hindu dan Buddha, prinsip dharma (kewajiban moral) dan karuna (kasih sayang) juga mendorong aparatur untuk bertindak adil, sabar, dan tidak semena-mena.

Semua ini menunjukkan bahwa agama bukan hanya membentuk moral individu, tetapi juga menanamkan standar etika kolektif dalam sistem administrasi.

2. Agama dan Gaya Kepemimpinan Birokrasi

Gaya kepemimpinan birokrasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh kultur lokal dan nilai agama. Di daerah-daerah tertentu, pemimpin publik yang memiliki kredibilitas keagamaan—seperti pernah mengenyam pendidikan pesantren atau aktif dalam kegiatan keagamaan—lebih dipercaya dan dihormati oleh masyarakat.

Hal ini membentuk model kepemimpinan yang paternalistik, moralistik, dan kadang karismatik.

Seorang pemimpin tidak hanya dilihat dari kinerja teknokratiknya, tetapi juga dari integritas moral dan spiritualnya.

Gaya kepemimpinan ini sering kali memperkuat legitimasi pemimpin, meningkatkan kedekatan dengan masyarakat, dan mendorong terciptanya administrasi yang lebih manusiawi.

Namun, di sisi lain, kepemimpinan berbasis nilai agama juga bisa menghadirkan bias ketika digunakan untuk melanggengkan kekuasaan atau mendiskriminasi kelompok yang berbeda keyakinan.

3. Nilai Agama dalam Kebijakan dan Layanan Publik

Agama juga memiliki pengaruh nyata dalam kebijakan publik dan tata kelola layanan administrasi di Indonesia. Dalam praktiknya, banyak kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh norma keagamaan.

Contoh Kebijakan dan Layanan yang Dipengaruhi Agama:

Regulasi keuangan syariah

Pengelolaan zakat dan wakaf

Sertifikasi halal

Penyesuaian layanan publik selama Ramadan atau hari besar keagamaan

Penyesuaian waktu kerja bagi umat beragama

Hal ini mencerminkan adanya fleksibilitas dan sensitivitas dalam birokrasi Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan spiritual masyarakat. Meski demikian, dalam konteks negara yang plural, penyesuaian berbasis agama juga perlu diatur secara proporsional agar tidak menimbulkan ketimpangan pelayanan atau perlakuan tidak adil terhadap kelompok minoritas.

4. Tantangan dalam Negara Multikultural

Pengaruh agama terhadap budaya administrasi tidak selamanya berjalan mulus. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, di mana keberagaman agama dan kepercayaan merupakan realitas sehari-hari, dominasi nilai keagamaan tertentu dalam administrasi bisa memicu eksklusivitas atau diskriminasi terselubung.

Potensi ketidaksetaraan dapat muncul jika preferensi atau afiliasi agama dijadikan pertimbangan yang tidak relevan secara profesional dalam hal:

Rekrutmen ASN

Pelayanan publik

Pemberian bantuan sosial

Agama juga bisa dijadikan alat justifikasi terhadap kebijakan yang sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi atau HAM.

Oleh karena itu, penting bagi birokrasi Indonesia untuk mengelola pengaruh agama secara inklusif, bijak, dan tetap berpegang pada prinsip netralitas negara sebagaimana dijamin oleh konstitusi.

 

 

Opini Penulis

Sebagai penulis, saya berpandangan bahwa agama dan administrasi publik di Indonesia tidak perlu dipisahkan secara kaku, tetapi perlu diintegrasikan secara cerdas.

“Agama menawarkan kekayaan nilai yang bisa memperkuat karakter moral birokrasi—kejujuran, kesederhanaan, tanggung jawab, dan semangat melayani.”

Nilai-nilai ini adalah modal sosial yang sangat dibutuhkan dalam konteks Indonesia yang masih berjuang melawan korupsi, nepotisme, dan budaya pelayanan yang lamban dan tidak responsif.

Namun, saya juga menekankan pentingnya kehati-hatian dalam membawa nilai agama ke ruang birokrasi. Administrasi publik harus tetap berdiri di atas prinsip rasionalitas, profesionalisme, dan keterbukaan.

“Agama seharusnya memperkaya, bukan membatasi. Ia harus mendorong inklusivitas, bukan eksklusivitas.”

Birokrasi yang ideal adalah birokrasi yang bersih secara spiritual, namun juga canggih secara teknis dan adil secara sosial. Dalam pandangan saya, masa depan administrasi publik Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuannya mengelola hubungan antara agama dan negara secara harmonis. Bukan dengan menjadikan agama sebagai alat politik atau formalitas, melainkan sebagai sumber etika dan inspirasi moral yang membangun pelayanan publik yang manusiawi, adil, dan efektif.

Referensi Rujukan:

Dwiyanto, Agus. (2006). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Buku ini menjelaskan bagaimana nilai-nilai moral dan etika, termasuk yang berasal dari agama, membentuk karakter pelayanan publik di Indonesia.

Mulder, Niels. (2001). Mistisisme Jawa: Ideologi dalam Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: LKiS.

Mengulas bagaimana agama dan kepercayaan lokal membentuk budaya birokrasi dan kepemimpinan di masyarakat Indonesia.

Ali, Muhammad Daud. (2008). Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press.

Menggambarkan peran nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik seperti zakat dan wakaf di Indonesia.

Nasr, Seyyed Hossein. (1987). Islamic Science: An Illustrated Study. London: World Wisdom Books.

Menunjukkan bagaimana nilai-nilai agama (khususnya Islam) dapat memengaruhi sistem pengetahuan dan manajemen dalam masyarakat Muslim.

Lubis, Mochtar. (1977). Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Meskipun tidak spesifik tentang agama, buku ini mengkritik karakter birokrasi Indonesia yang korup, dan menyinggung bagaimana etika agama bisa jadi solusi moral.

Pemerintah Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU ASN No. 5 Tahun 2014

Memuat prinsip netralitas ASN dan prinsip tata kelola pemerintahan yang etis, yang sering diselaraskan dengan nilai agama.

Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.

Memberi gambaran tentang bagaimana agama menyatu dengan struktur sosial dan administrasi di masyarakat Jawa. (*)

Bagikan artikel ini ke :